Prancis dan Inggris bersiap untuk mengirim pasukan Eropa ke Ukraina apabila ada perjanjian perdamaian. Besarnya jumlah pasukan serta daftar negara-negara anggota belum diputuskan, detailnya nanti akan diberikan.

Setelah pertemuan antara kira-kira 30 pemimpin Eropa dan NATO di Paris, pada hari Kamis (27/03), Presiden Prancis Emmanuel Macron menginformasikan rencananya untuk menurunkan pasukan dari beberapa negara Eropa ke Ukraina apabila suatu perjanjian perdamaian jangka panjang bisa dicapai.
Detail tentang program ini masih kurang jelas, namun diperkirakan akan menjadi lebih spesifik dalam beberapa pekan mendatang. Pegawai dari kementerian pertahanan Britania Raya serta Perancis berencana untuk berkunjung ke Ukraina secara cepat guna memantau permintaan bagi pasukan keamanan atau biasanya disebut juga dengan itu. ‘reassurance force’ di lapangan, kata Macron.
"Tim pengaman internasional dari sejumlah negara Eropa akan dikirim ke Ukraina," kata Macron saat berbicara di depan media usai rapat selama tiga jam bersama para pemimpin lainnya seperti Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, serta Wakil Presiden Turki Cevdet Yilmaz.
Macron menyatakan adanya perbedaan pendapat, dengan tidak seluruhnya setuju. sekutu Ukraina di Eropa Akan ikut serta. Sebagian negara kurang memiliki "kemampuan", sedangkan beberapa negara lain menolak alasannya adalah "situasi politik" di negeri mereka.
Dalam beberapa pekan belakangan ini, Macron dan Perdana Menteri Britania Raya Keir Starmer sudah berkolaborasi dalam menghadirkan "tim pengawal keamanan" untuk Pemerintahan Ukraina.
Mengapa Prancis dan Inggris merencanakan untuk mengirim tentara mereka?
Amerika Serikat mengejutkan Eropa pada awal tahun ini dengan membuka pembicaraan bilateral dengan Moskow, dan untuk sementara waktu menghentikan bantuan militer bagi Ukraina. AS bertekad menengahi perdamaian di Ukraina, meskipun pemerintahan Zelenskyy menentang keras kemungkinan kesepakatan yang menguntungkan Rusia.
Pejabat-pejabat dari Eropa cemas bahwa sang Presiden Rusia, Vladimir Putin, mungkin menjadi lebih agresif dalam serangan ke Ukraina, atau bahkan kepada negara-negara lain di wilayah tersebut bila ia mendapatkan persetujuan yang sangat memihak padanya.
Minggu ini, usai pertemuan yang diketuai oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Kyiv dan Moskow telah menyetujui kesepakatan awal guna mendinginkan tensi di Laut Hitam. Ini dapat menjadi fondasi bagi tercapainya perdamaian secara menyeluruh.
Akan tetapi, perjanjian tersebut kelihatan mulai longgar pada hari Kamis (27/03), setelah Rusia menjelaskan harapan mereka untuk mencabut sejumlah sanksi Barat sebagai elemen dari kesepakatan ini, hal yang tak dinyeritakan secara resmi oleh Amerika Serikat. Pemimpin-pemimpin Eropa yang berkumpul di Paris menentang gagasan tentang pembatalan sanksi-sanksi tersebut dan memastikan bahwa sanksi-sanksi akan dipertahankan selagi Rusia melanjuti tindakan-tindakannya. agresi terhadap Ukraina.
Inisiatif bersama antara Prancis dan Inggris adalah sebagian dari usaha Eropa untuk berperan aktif dalam mendukung perdamaian serta menjamin keselamatan Ukraine, walaupun belum tentu seluruh negara setuju dengan langkah tersebut.
Uni Eropa sudah bersumpah untuk memperbesar investasi di bidang pertahanan agar bisa kurangi ketergantungannya pada Amerika Serikat. Selama kepemimpinan Donald Trump, AS mulai tunjukkan sikap yang makin tegas terkait dengan Ukraina serta Eropa.
Mari berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Isi kembali wawasan Anda di tengah pekan agar pembicaraan semakin menarik!
Upaya mencegah agresi Rusia
Pada hari Kamis (27/03), Macron menyatakan tegas bahwa pasukan yang dikirim tak akan berada di barisan terdepan, bukanlah angkatan pengawas perdamaian, serta tidak akan mengambil alih peran tentara Ukraina. Utamanya, tujuannya ialah untuk mencegah serangan lebih lanjut dari Rusia.
Perdana Menteri Inggris menjelaskan bahwa London telah menerima lebih dari 200 perwira militernya sendiri dari sekitar 30 negara pada minggu ini, dengan beberapa negara sudah menegaskan siapannya untuk membantu dalam aspek-aspek seperti persediaan, koordinasi dan pengendalian operasional, serta penyebaran pasukan ke darat, laut, dan langit.
Kebijakan tentang jumlah tepat dari personil militer yang akan dipindah ke wilayah tersebut masih samar. Tetapi berdasarkan analisis Rafael Loss, pakar dari European Council on Foreign Relations (ECFR), diperkirakan bakal terdapat antara 15.000 sampai dengan 20.000 prajurit yang akan ditugaskan di Ukraina.
Namun, sebelum hal tersebut dapat terwujud, diperlukanlah suatu "kesepakatan solid guna mengakhiri konflik, mendefinisikan batas kontrol, menciptakan saluran komunikasi politik antar para pihak yang bertikai, serta menggunakan mediator untuk mencegah sengketa di kemudian hari."
Pokok pikirannya adalah membuat ancaman terhadap Rusia agar pemerintahan mereka berpikir ulang sebelum melakukan serangan ke Ukraina," ungkap Loss untuk DW. "Akan tetapi, hal ini juga menyebabkan pasukan Eropa yang bertempur di Ukraina harus bersiap dengan potensi bahaya, serta adanya peluang konfrontasi melebar keluar dari batasan Ukraina.
Putin sudah berkali-kali mengungkapkan bahwa dia tidak akan mentolerir adanya pasukan dari negara-negara NATO di wilayah Ukraina.
Negara-negara manakah yang bakal berpartisipasi?
Hingga saat ini, setelah Inggris dan Prancis, beberapa negara Nordic dan Baltic juga sudah mengungkapkan keinginan mereka untuk turut serta. Kepastian posisi Jerman masih kabur lantaran pemerintahan baru tengah diarsiteki, walaupun calon kanselir yang diperkirakan akan memenangkan pemilihan, Friedrich Merz, tampaknya memiliki pandangan lebih terbuka daripada kanselir incumbent Olaf Scholz.
Di sisi lain, negara-negara di bagian selatan seperti Italia dan Spanyol kurang percaya diri dengan ide tersebut.
AS sudah menyampaikan keputusan mereka untuk tidak terlibat dalam tugas ini. Sebagian orang meyakini bahwa operasi tersebut takkan sukses tanpa partisipasi Amerika Serikat, sedangkan sekelompok lain meminta supaya misi itu dilakukan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akan tetapi, dengan adanya hak vetonya Rusia di Majelis Keamanan PBB, tampaknya agak mustahil mencapai persetujuan yang bisa disahkan baik oleh Kiev maupun Moscow.
Pada hari Kamis (27/03), Macron menggarisbawahi pentingnya Eropa untuk bersiap-siap dalam mengambil tindakan secara mandiri.
“Harusnya kita optimis, tapi juga jangan lupa antisipasi hal-hal buruk,” ujarnya. “Aku harap Amerika akan mendukung kami dan mungkin saja turut campur tangan. Akan tetapi, perlu dipersiapkan segala kondisi termasuk jika mereka memilih untuk tidak bergabung.”
Di Paris, Macron dan Starmer menyampaikan bahwa keduanya sedang proaktif dalam merancang rencana paska konflik, walaupun kedua belah pihak kurang yakin tentang niat Rusia yang sebenarnya untuk mencapai perdamaian pada saat tersebut. Starmer menekankan bahwa Eropa siap "mengimplementasikan perjanjian damai apapun bentuknya," serta "berkolaborasi guna melindungi keamanan Ukraina agar bisa bertahan sendiri dan menghalangi serangan di kemudian hari."
Untuk Kehilangan ECFR, ini adalah pesan yang dikirimkan ke AS serta Kiev.
"Tujuan pentingnya adalah untuk mengungkapkan bahwa Eropa tidak tinggal diam, sekalipun informasi terkait pembicaraan genceta senjata atau pernyataan beberapa petugas bisa jadi mengecewakan. Ini semua dilakukan agar kita dapat melanjutkan komitmennya dalam diskusi tersebut," ucapnya.
Artikel ini dikembangkan ulang dari versi DW dalam bahasa Inggris.
ind:content_author: Ella Joyner
Silahkan berkomentar biar rame :D